Perbedaan Pakaian PDU 1 dan PDU 3
Pakaian Dinas Utama (PDU) adalah seragam militer penting yang digunakan oleh personel TNI (Tentara Nasional Indonesia), POLRI (Kepolisian Republik In…
Pakaian Dinas Utama (PDU) adalah seragam militer penting yang digunakan oleh personel TNI (Tentara Nasional Indonesia), POLRI (Kepolisian Republik In…
Warna merupakan elemen penting dalam dekorasi rumah yang dapat mempengaruhi suasana dan suasana hati ruangan. Dalam desain interior, dua warna putih …
Cara Membuat Menu Navigasi Blogger - blogge Pemula sudah menjadi hal yang sangat wajar dalam bidang apapun, tak terkecuali dalam dunia blog. Saya m…
Sekilas Tentang Mbah KH Sahlan Tholib - Kyai Sahlan merupakan salah satu ulama salaf dan ulama kuno yang mempunyai karomah YANG SANGAT JARANG TEREKS…
Industri kecantikan semakin berkembang pesat, dengan berbagai produk yang bermunculan setiap hari. Salah satu merek yang kini tengah populer adalah S…
Sekilas Tentang Gus Ma'ruf bin Zubair - Kita tahu bahwa Sarang termasuk daerah yang merupakan gudang ulama. Di antara mereka ada satu ulama yang…
Biografi KH Hasan Gipo, Ampel, Surabaya, Jawa Timur Ketua Tanfidziyah PBNU Pertama - Hasan Gipo atau Hasan Basri lahir di Surabaya pada tahun 1869 d…
Jejak KI Ageng Rogosasi - Bagi Masyarakat Tumang Boyolali, nama Ki Ageng Rogosasi tentu tak asing bagi mereka. Nama tersebut merupakan seorang penye…
Konversi IP Address ke Biner Konversi IP Address ke Biner Masukkan IP Address: Konversi …
Dalil Lengkap Sampainya Pahala Kepada Mayit - Untuk menguatkan syariat kita bahwah menghadiahkan pahala bacaan Al Quran dan kalimat Thoyyibah kepada…
Salah satu nama yang paling banyak disebut ketika membahas teori tentang bid’ah adalah Imam asy-Syatibi. Beliau adalah seorang tokoh pakar ushul fiqh bermazhab Malikiyah. Kebanyakan para pendaku Salafi modern ini menganggap teorisasi bid’ah yang dilakukan oleh asy-Syatibi dalam kitabnya yang berjudul al-I’tishâm sebagai konsep teori bid’ah yang paling baik, bahkan seolah kebenaran yang tak bisa ditawar.
Berbeda dari teori mayoritas ulama empat mazhab, beliau tidak membagi bid’ah secara umum menjadi dua (sebagai bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah) atau secara rinci menjadi lima hukum (haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib). Bagi Imam asy-Syatibi, bid’ah hanyalah satu macam saja, yakni haram saja. Konsep beliau yang menyelisihi mayoritas ulama ini menarik, tetapi bukan bahasan kita kali ini.
Kali ini penulis akan membahas tentang bagian yang berkaitan dengan teologi atau aqidah dalam kitab al-I’tishâm. Dalam pandangan asy-Syatibi, bid'ah itu ada dua tingkat, yakni yang kesesatannya di level kafir (keluar dari Islam) dan tidak sampai kafir. Berikut pernyataan beliau selengkapnya:
لَا شَكَّ فِي أَنَّ الْبِدَعَ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مِنْهَا مَا هُوَ كُفْرٌ كَاتِّخَاذِ الْأَصْنَامِ لِتُقَرِّبَهُمْ إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، وَمِنْهَا مَا لَيْسَ بِكُفْرٍ كَالْقَوْلِ بِالْجِهَةِ عِنْدَ جَمَاعَةٍ وَإِنْكَارِ الْإِجْمَاعِ وَإِنْكَارِ الْقِيَاسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ
"Tak diragukan bahwa bid'ah itu ada yang berupa kekafiran, seperti membuat patung berhala (untuk disembah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dan ada juga yang tidak sampai pada level kafir, seperti berpendapat adanya arah (bagi Allah) menurut sebagian kelompok, mengingkari konsensus ulama, mengingkari qiyas dan sebagainya." (Asy-Syatibi, al-i'tishâm, juz II, halaman 707)
Jadi menurut Imam asy-Syatibi, menetapkan adanya arah tertentu bagi keberadaan Dzat Allah, misalnya dengan meyakini bahwa Allah ada di arah atas sana, adalah sebuah keyakinan bid’ah. Hanya saja keyakinan bid’ah ini tidak sampai berkonsekuensi kekafiran, hanya dianggap sesat dan berdosa. Lalu bagaimana tentang berbagai ayat atau hadits yang seolah-olah mengisyaratkan bahwa Allah ada di atas sana, di langit, di atas Arasy? Bukannya itu semua sama saja dengan menetapkan arah bagi keberadaan Allah? Seperti mayoritas ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) lainnya, Imam Syatibi di kitabnya yang lain menjelaskannya demikian:
قَوْلُهُ تَعَالَى: {يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ} [النَّحْلِ: ٥٠] ، {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ} [الملك: ١٦] وَأَشْبَاهُ ذَلِكَ، إِنَّمَا جَرَى عَلَى مُعْتَادِهِمْ فِي اتِّخَاذِ الْآلِهَةِ فِي الْأَرْضِ، وَإِنْ كَانُوا مُقِرِّينَ بِإِلَهِيَّةِ الْوَاحِدِ الْحَقِّ؛ فَجَاءَتِ الْآيَاتُ بِتَعْيِينِ الْفَوْقِ وَتَخْصِيصِهِ تَنْبِيهًا عَلَى نَفْيِ مَا ادَّعَوْهُ فِي الْأَرْضِ؛ فَلَا يَكُونُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى إِثْبَاتِ جِهَةٍ أَلْبَتَّةَ؛ وَلِذَلِكَ قَالَ تَعَالَى: {فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ} [النَّحْلِ: ٢٦] ؛ فَتَأَمَّلْهُ، وَاجْرِ عَلَى هَذَا الْمَجْرَى فِي سَائِرِ الْآيَاتِ وَالْأَحَادِيثِ.
“Firman Allah Ta'ala: "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka" (an-Nahl: 50), "Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit" (al-Mulk: 16), dan ayat semisal itu sesungguhnya tidak lain hanyalah dalam konteks kebiasaan mereka dalam membuat berbagai sesembahan di bumi meskipun mereka juga mengakui Ketuhanan Allah Yang Maha Esa dan Maha Benar. Kemudian ayat-ayat itu datang dengan menentukan ketinggian dan mengkhususkannya dalam rangka memperingatkan penegasian terhadap apa yang mereka sembah di bumi. Maka hal itu sama sekali tidak menunjukkan penetapan arah Tuhan. Karena itu, Allah berfirman: "Lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa dari atas mereka" (an-Nahl:26), maka renungkanlah ini dan terapkan metode ini dalam seluruh ayat dan hadits.” (as-Syatibi, al-Muwâfaqât, juz IV, halaman 155)
Dalam pandangan asy-Syatibi, semua ayat atau hadits yang seolah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas harus dibaca dalam konteks saat turunnya ayat itu tatkala marak penyembahan berhala. Semua berhala itu ada di bumi; di depan, di belakang, atau di samping manusia. Maksud semua ayat itu tak lain hanyalah untuk manafikan keberadaan seluruh berhala yang di bumi itu sebagai sosok Tuhan, bukannya untuk menetapkan bahwa Dzat Allah berada di arah atas.
Seperti halnya dalam ungkapan “atap jatuh dari atas” dalam ayat an-Nahl:26, sama sekali tidak bermaksud menegaskan bahwa atap pastilah selalu berada di atas, tetapi hanya ungkapan kebiasaan bahwa atap biasanya diposisikan berada di atas. Kenyataannya, atap tetaplah atap meskipun ia belum diletakkan di atas sekalipun. Dalam kasus Dzat Allah, Allah tetaplah Allah sebagai Tuhan yang tak berarah atau pun bertempat sebab Ia sudah ada sebelum semua tempat tercipta dan otomatis juga sebelum adanya arah apapun.
Pemahaman seperti ini menurutnya adalah kaidah yang harus diberlakukan ketika menghadapi semua ayat atau hadits yang seolah menetapkan adanya arah atas bagi Allah. Ini adalah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah yang ada sejak masa salaf hingga sekarang. Karena itu jangan ada yang mengkhayalkan bahwa Allah berada atau bertempat di atas. Khayalan semacam ini adalah bid’ah, hal baru yang dibuat-buat belakangan oleh Aliran Mujassimah dan Hasyawiyah. Kemahatinggian Allah sama sekali tak bermakna bahwa Dzat Allah bertempat di lokasi yang tinggi, tetapi Kemahatinggian dalam konteks sifat ‘uluw yang telah dibahas di artikel sebelumnya.
Sumber:hwmi