Perbedaan Pakaian PDU 1 dan PDU 3
Pakaian Dinas Utama (PDU) adalah seragam militer penting yang digunakan oleh personel TNI (Tentara Nasional Indonesia), POLRI (Kepolisian Republik In…
Pakaian Dinas Utama (PDU) adalah seragam militer penting yang digunakan oleh personel TNI (Tentara Nasional Indonesia), POLRI (Kepolisian Republik In…
Warna merupakan elemen penting dalam dekorasi rumah yang dapat mempengaruhi suasana dan suasana hati ruangan. Dalam desain interior, dua warna putih …
Cara Membuat Menu Navigasi Blogger - blogge Pemula sudah menjadi hal yang sangat wajar dalam bidang apapun, tak terkecuali dalam dunia blog. Saya m…
Sekilas Tentang Mbah KH Sahlan Tholib - Kyai Sahlan merupakan salah satu ulama salaf dan ulama kuno yang mempunyai karomah YANG SANGAT JARANG TEREKS…
Industri kecantikan semakin berkembang pesat, dengan berbagai produk yang bermunculan setiap hari. Salah satu merek yang kini tengah populer adalah S…
Biografi KH Hasan Gipo, Ampel, Surabaya, Jawa Timur Ketua Tanfidziyah PBNU Pertama - Hasan Gipo atau Hasan Basri lahir di Surabaya pada tahun 1869 d…
Sekilas Tentang Gus Ma'ruf bin Zubair - Kita tahu bahwa Sarang termasuk daerah yang merupakan gudang ulama. Di antara mereka ada satu ulama yang…
Jejak KI Ageng Rogosasi - Bagi Masyarakat Tumang Boyolali, nama Ki Ageng Rogosasi tentu tak asing bagi mereka. Nama tersebut merupakan seorang penye…
Konversi IP Address ke Biner Konversi IP Address ke Biner Masukkan IP Address: Konversi …
Dalil Lengkap Sampainya Pahala Kepada Mayit - Untuk menguatkan syariat kita bahwah menghadiahkan pahala bacaan Al Quran dan kalimat Thoyyibah kepada…
Lalu mengapa para ulama salafus shaleh selalu menyebut "tangan Allah" sebagai sifat? Jawabannya, sebab mereka mentakwil kata tangan itu dan sama sekali tidak bermaksud bahwa tangan Allah adalah suatu organ yang merupakan bagian dari tubuh Allah. Bahkan mereka tidak pernah menyebut Allah punya tubuh sebab mereka bukan mujassim. Ingat poin paling penting ini bahwa ketika tangan disebut sebagai sifat, maka itu adalah takwil!
Takwil sendiri adalah pemalingan makna dari makna asli yang biasanya (makna denotatif) menuju makna lainnya (makna konotatif). Hal ini ada dalam semua bahasa di dunia dan merupakan sesuatu yang lumrah. Ketika seseorang berkata "Nasib kita ada di tangan Allah", tentu anda paham bahwa maksud tangan di situ bukan organ Tuhan tapi kontrol Tuhan.
Takwil makna tangan dari makna asal organ menuju makna sifat ini dilakukan seluruh ulama salafus shaleh. Istilah resminya adalah takwil ijmali. Setelah semua ulama aswaja sepakat mentakwil atau memalingkan makna ini, lalu mereka berbeda pendapat apakah maknanya yang baru (hasil takwil ijmali) dapat ditentukan secara spesifik sesuai kaidah bahasa Arab atau tidak? Penentuan makna secara spesifik inilah yang disebut takwil tafshili. Sebagian sepakat memberikan takwil tafshili, sebagian lain menolaknya dan menganggapnya terlarang sebab bagi mereka lebih aman tidak membicarakannya tetapi cukup baca saja ayat atau hadisnya tanpa ditafsiri dengan makna apa pun.
Perbedaan pendapat soal boleh tidaknya tafsil tafshili ini hanya cabang akidah, sama sekali tidak ada masalah. Meskipun sebagian ulama sangat keras mengutuk takwil tafshili, sebagian ulama hebat lainnya di berbagai karya besar yang dirujuk seluruh dunia tetap enjoy mentakwil tafshili sebab ini ranah ijtihad, bukan larangan dari ayat atau hadis. Jadi ketika misalnya Imam Ibnu Qudamah mengutuk keras takwil tafshili dan menyesat-nyesatkan pelakunya, para imam lain semisal Imam Nawawi, Ibnu Hajar, al-Qurthubi, para pensyarah Shahih Bukhari klasik dan tak terhitung lainnya tetap saja melakukan takwil tafshili sebab mereka tahu takkan ada malaikat yang bertanya: "Kenapa kamu tidak beriman pada perkataan Ibnu Qudamah?".
Yang menjadi pokok akidah adalah takwil ijmali. Seluruh Ahlussunah wal Jamaah sepakat tentang ini. Yang berbeda hanyalah kalangan mujassimah, yakni aliran sesat yang selalu menyusun redaksi seolah Allah punya tubuh dan memiliki anggota badan seperti wajah, tangan, kaki dan seterusnya. Mereka adalah aliran sesat sejati yang menyelisihi pokok akidah Aswaja.
Untuk membuat dagangannya laku, mujassimah ini kerap memakai istilah Aswaja agar kalangan awam tidak sadar akan kesesatan mereka yang menyelisihi akidah mayoritas ulama. Istilah tubuh tuhan mereka ganti dengan istilah "Dzat Tuhan". Istilah organ tubuh Tuhan mereka ganti dengan istilah "shifat dzatiyah" atau kadang "shifat a'yan". Jadi kalangan awam perlu hati-hati ketika mendengar istilah ini sebab yang dimaksud ulama salafus shalih dan yang dimaksud mujassim berbeda jauh. (Yang dimaksud salafus shalih adalah ulama di era awal islam, bukan orang sekarang yang ngaku salaf)
Ulama salaf memakai istilah "Dzat Allah" dalam arti entitas Allah, sedangkan mujassim memakainya dengan arti tubuh Allah. Ulama salaf memakai istilah "shifat" dalam rangka memalingkan dari makna organ, mujassim justru untuk menetapkan makna organ. Ulama salaf memakai istilah "shifat dzatiyah" untuk sifat-sifat maknawi semisal hidup, mendengar, melihat, berkuasa dan sebagainya, mujassim justru memakai istilah itu dengan maksud organ yang menjadi bagian dari dzat. Jadi, waspadalah akan tipu daya mujassim.
Semoga bermanfaat.
Gus AWA
Sumber: hwmi